BIOGRAFIK ANWAR NASUTION
Tapi, tampaknya mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun telah mengakhiri masa tugasnya di
BI pada Selasa 27 Juli 2004, digantikan oleh Miranda Gultom. Sebelum
melepas jabatan Deputi Senior Gubernur BI itu, ia telah dinominasikan di
urutan pertama yang dipilih dan diajukan oleh DPR kepada presiden untuk
menjabat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggantikan Satrio Billy
Joedono yang telah berakhir masa tugasnya.
Publik yakin, pria kelahiran Sipirok, Sumatera Utara
5 Agustus 1942, ini tidak sembarang melemparkan kritik terhadap bank
sentral itu. Sebab sebagai seorang ekonom dan akademisi, ia diyakini
punya alasan cukup kuat tentang pernyataan-pernyataannya. Doktor bidang
ekonomi dari Tufts University, Massachusetts, USA 1982, itu mengatakan
kritiknya tidak lepas dari tindakan BI sendiri. Lembaga ini lebih banyak
berperan sebagai bagian dari birokrasi daripada sebagai bank sentral.
Menurutnya, hampir semua program kredit yang dikeluarkan BI lebih
bernuansa politik. Sehingga terjadilah praktek mark up, korupsi, kolusi,
dan nepotisme, serta adanya investasi keliru yang mengakibatkan
kehancuran sistem perbankan. Sebelum diberlakukannya UU No. 23/1999, BI
memang masih belum independen dan masih mengucurkan kredit.
Sebelum menjabat di BI, ia juga mengungkapkan bagaimana ulah bank
sentral ini yang diibaratkannya sebagai rumah gadai. Hal mana, BI kerap
memberikan kredit tanpa memperhatikan karakter dan tingkah laku si
penerima kredit itu sendiri. Tindakan itu berakibat fatal, dan harus
dibayar mahal oleh perbankan nasional. Antara lain, katanya, itu
terlihat dari tindakan BPPN yang harus membayar mahal ahli hukum,
konsultan, dan tenaga ahli lainnya. Karena itu, lanjutnya, BI tidak
boleh lagi memberi kredit-kredit yang bernuansa politik.
Lalu setelah masuk BI yang disebutnya 'sarang penyamun' itu,
tampaknya ia tidak bisa berbuat banyak. Posisinya sebagai Deputi Senior
Gubernur BI tidak cukup kuat untuk melakukan reformasi di bank central
yang penuh noda itu. Mentalitas para pejabat dan karyawannya yang sudah
terbiasa melayani kepentingan diri, sehingga berakibat kebijakan moneter
negeri ini sempat amburadul, tak mudah diubah. Bahkan berbagai pihak
sempat menduga bahwa ia menjadi larut dalam 'sarang penyamun' itu. Atau
BI kini sudah tidak lagi sebagai'sarang penyamun'?
Namun, kelihatannya ia bukan orang yang diinginkan dalam tubuh BI.
Presiden Megawati Sukarnoputri juga tampaknya tak melihat potensinya
untuk dapat memperbaiki kinerja BI. Terbukti, ia tidak ikut dicalonkan
untuk menjabat Gubernur BI menggantikan Syahril Sabirin yang akan
berakhir masa jabatannya 17 Mei 2003. Padahal, sebelumnya banyak pihak
menduga ia akan dicalonkan. Bahkan disebut, ia salah seorang yang paling
layak dicalonkan daripada tiga calon yang diajukan presiden.
Ketidakkuasaannya melakukan reformasi dalam tubuh BI, tercermin juga
dalam sikapnya sehari-hari. Ia malah sempat melontarkan betapa pihak
asing tak memandangnya, karena jabatannya hanya deputi senior, saat
syahril Sabirin dalam tahanan sekalipun. Lalu, ia pun sempat menyatakan
mengundurkan diri bersama empat deputi Gubernur BI, secara serempak,
saat Gubernur BI Syahril Sabirin ditahan karena dituduh terlibat kasus
Bank Bali.
Pengunduran diri ini mengundang pro dan kontra. Ada yang mengiranya
sebagai persekongkolan atau mungkin tekanan untuk mengganti Syahril
Sabirin yang memang sudah lama diinginkan Presiden Abdurrahman Wahid
ketika itu. Apalagi, sehari setelah pengunduran diri itu, presiden
mengajukan namanya menjadi calon Gubernur BI bersama Dr Hartadi dan
Fajriah Fajriah yang saat itu menjabat Direktur Pengawasan BI.
Namun, keinginan penggantian Gubernur BI itu rupanya tidak mudah
dilakukan. Terjadi pro dan kontara tentang hal ini. Akhirnya pemerintah
dan DPR sepakat (Minggu 19/11/2000) proses pergantian gubernur bank
sentral itu diundur sambil menunggu revisi Undang-undang (UU) No.
23/1999 tentang BI.
Kendati Gus Dur sendiri tetap bersikeras mempertahankan Anwar Nasution
sebagai calon gubernur BI. Pasalnya, Anwar dinilai memenuhi kriteria
untuk menduduki posisi orang nomor satu di bank sentral itu. Kalangan
DPR menolak pencalonan Anwar, karena selain ada parpol yang mempunyai
kepentingan untuk mempertahankan Syahril, mekanisme yang ditempuh Gus Dur juga dinilai melanggar UU No. 23/1999.
Beberapa pengamat berpendapat, pengajuan tiga bakal nama calon
gubernur BI dan deputi gubernur senior merupakan kesalahan, bahkan
pemerintah bisa dikategorikan melanggar UU No. 23/1999. Syahril yang
berstatus tahanan rumah dalam kasus Bank Bali (BB) tidak bisa
diberhentikan begitu saja selama belum ada kepastian hukum yang
menyebutkan dia bersalah. Ini disebut bukan sekadar intervensi, tapi
juga pelanggaran UU.
Sementara, untuk mencegah kevakuman kepemimpinan BI, pemerintah tetap
meminta kepada mereka yang mengundurkan diri untuk bekerja sampai
terpilihnya deputi yang baru. Pemerintah memandang, pengunduran diri
mereka bukan dilihat sebagai bentuk kegagalan kerja, tetapi merupakan
permintaan pribadi masing-masing sebagai tanggung jawab moral terhadap
apa yang terjadi di masa lalu.
Kepala Biro Humas BI Halim Alamsyah itu juga mengeluarkan pernyataan
pers yang menyebutkan, penanggungjawab pelaksanaan tugas BI tetap
dilaksanakan anggota Dewan Gubernur BI. Selain itu, BI mengimbau
kalangan perbankan dan lembaga keuangan baik dalam maupun luar negeri
serta masyarakat tetap tenang dan bertindak wajar, sehingga tak
mengganggu upaya pemulihan ekonomi nasional yang saat ini sedang
dilaksanakan.
Sementara itu, Anwar Nasution
didampingi Deputi Gubernur BI Achyar Ilyas dan tiga orang staf BI
sebelumnya menjenguk Syahril Sabirin di Rumah Tahanan (Rutan) Kejaksaan
Agung. wartawan
yang mengira terjadi penandatanganan serah terima wewenang Gubernur BI
di tahanan itu, langsung mengerumuni Anwar. Anwar membantah isu serah
terima itu. Ia mengatakan, belum ada rencana Syahril mundur dari jabatan
sebelum pengadilan memutuskan apakah salah atau tidak. Ia yang menjadi
pelaksana tugas kepemimpinan BI setelah Syahril Sabirin ditahan, juga
berkali-kali berkata tak tahu saat wartawan menanyakan pendapatnya tentang rekayasa di balik penahanan Syahril
Perjalanan karir penulis Financial Institutions and Policies in
Indonesia, ISEAS (1983), ini banyak berada di lingkungan akademis.
Diawali sebagai asisten pengajar, dosen dan guru besar ekonomi di FEUI
mulai tahun 1964 sampai sekarang. Selain itu sejak tahun 1985 menjadi
pengajar tamu mata kuliah ekonomi di Lemhannas, Seskoal dan Seskoad.
Pada tahun 1995-1996, ia sempat menjadi pengajar tamu mata kuliah
ekonomi pembangunan di University of Helsinki, Finlandia. Selain itu ia
juga aktip sebagai konsultan dan menjabat Komisaris Semen Gresik, dan
Pelindo II.
Maka ketika ia baru diangkat menjadi Deputi Senior Gubernur BI, Rasa humor, saat sejumlah wartawan
ingin mengucapkan selamat, secara berkelakar ia mengatakan: "Jangan
memberi ucapan selamat. Lebih tepat ucapan duka cita. Soalnya, gaji saya
sekarang hanya sepertiga dari yang saya terima setiap bulannya.
Padahal, tugas dan beban saya lebih berat," ucapnya tertawa, seperti
dikutip sebuah majalah.
Ucapan itu tidak berlebihan. Sebab dengan menjadi Deputi Senior
Gubernur BI, ia harus melepaskan sejumlah jabatannya. Soalnya, sebagai
deputi senior, ia tidak bisa lagi merangkap jabatan. Selain itu, sudah
pasti, waktunya akan banyak tersita di BI. Sehingga kesempatannya
berceramah di mana-mana seperti sediakala dan untuk berkumpul dengan
keluarga pun jadi berkurang. Termasuk shoping ke mal bersama anak dan
isterinya. Bahkan, suatu kali, ia harus absen menemani anak dan
isterinya berlibur ke luar negeri --sekaligus menjadi pembicara pada
sebuah seminar di sana-- karena harus tampil di DPR untuk melakukan
presentasi sebagai calon Deputi Senior Gubernur BI.
Kendati demikian, diangkatnya ia menjadi orang nomor dua di bank
sentral itu bukan tidak mengundang pro-kontra. Alasannya macam-macam. Di
antaranya sikap kritisnya terhadap pemerintah menyangkut kebijakan
sektor ekonomi, moneter, maupun politik secara umum. Salah satu
kritiknya yang paling monumental adalah: "Bank Indonesia itu sarang
penyamun." Kritik ini membuat orang-orang BI tercengang dan berang.
Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa ia tidak berkemampuan membangun
kerja tim. Juga keenggannya melepaskan jabatan sebagai Dekan FE UI.
Pria Batak berjiwa kebangsaan ini menghabiskan masa kecil di tanah
kelahirannya Sipirok, Tapanuli Selatan. Di situ ia menamatkan SD dan
SMP. Di SMP, ia meraih juara pertama. Lalu melanjut ke SMA Teladan,
Medan. Di sini, ia menjadi "preman" --istilah di sana untuk anggota
gank. Namun, sekolahnya tetap lancar.AN. Mengambil jurusan ilmu pasti
dan pengetahuan alam, ia juga menjuarai mata pelajaran aljabar,
goneometri, dan ilmu falak. Anehnya, "Mata pelajaran ekonomi malah saya
tak suka," kanangnya.
Lalu, tak heran bila kemudian ia mendaftar di Fakultas Matematika
& Ilmu Pasti Alam (FMIPA) Institut Teknologi Bandung (ITB), 1961.
Baru setahun ia kuliah, seorang rekan se-SMA "menggodanya". Rekannya
bilang, lowongan untuk sarjana matematika susah. "Nanti mau kerja apa
kau," kata si teman, yang lalu menganjurkannya pindah ke fakultas
ekonomi. Anwar pun mendaftar ke FE UI dan diterima.
ITB pun ditinggalkan, lalu tinggal di asrama mahasiswa UI di
Rawamangun. Ketika di asrama itu, ia memprakarsai nama asrama itu,
Daksinapati, kata Sanskerta yang berarti "calon suami yang baik". Nama
itu dipakai hingga kini. Pada 1966, ia turut menyelenggarakan seminar
ekonomi, yang kesimpulannya dipakai sebagai bahan Ketetapan MPRS No.
63/MPRS/66.
Pada 1968, setelah lulus dari FE UI, ia mengajar di almamaternya,
sambil menjadi tenaga bantuan pada Dirjen Moneter Departemen Keuangan.
Sejak 1975, ia menjadi peneliti pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi
Masyarakat (LPEM) FE UI. Menurutnya, hal yang menarik sebagai peneliti
adalah tidak adanya ikatan birokrasi. Ia mengaku paling malas kalau
disuruh rapat.
Ia pun kemudian meraih MPA di Harvard University, Massachusetts, USA
pada tahun 1973. Tahun berikutnya (1974), ia menikah dengan perancang
interior Maya Ayuna. Gelar doktornya dalam bidang ekonomi diraih di
Tufts University, Medford, Massachusetts, USA pada tahun 1982. dengan
disertasi berjudul "Macroeconomic Policies, Financial Institutions and a
Short Run Monetary Model of the Indonesian Economy". Di negeri Paman
Sam itu, penggemar joging ini, juga mendalami administrasi perpajakan.
Ia anak sulung dari enam bersaudara. Darah guru mengalir dalam
tubuhnya. Kedua orangtuanya guru SMP. Pria yang suka kelakar ini, juga
rajin berolahraga. dulu, pada 1970-an ia berlatih karate pada Lahardo.
Sebagai murid yang setia, ia ikut berpartisipasi ketika Lahardo diadu
melawan macan di Stadion Utama Senayan, Jakarta. Sebelum Lahardo masuk
gelanggang, ia dan teman-temannya mengelilingi sang macan. Tahu-tahu,
ada penonton iseng melempar sesuatu. "Kami langsung bubar, karena macan
keburu mengamuk duluan," tuturnya seraya tertawa terpingkel-pingkel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar